16.5.09

PROFIL KOMUNITAS PANGGUNG SEMARANG

Ketika sejumlah anak Abege sambil naik esklator dengan dandanan ala PUNK, jangan harap tanya kepada mereka apakah mereka itu benar-benar modis atau cuma sekedar biar kelihatan gaul ? Atau apakah ketika sejumlah anak sekolah menenteng pentungan dan rantai sepeda untuk tawuran dengan kelompok anak sekolah lain, jangan tanya kepada mereka apakah mereka memang jagoan atau cuma butuh legitimasi oleh teman-temannya ?

Sejumlah pertanyaan itu bagian dari sebuah “permakluman” terhadap gejolak sosial yang ada disekitar kita. Kita akan maklum jika ternyata keinginan dan pilihan kita tempuh berbeda dengan orang lain. Bahkan, kita akan maklum terhadap keinginan dan pilihan orang lain, meski harus meredam “rasa ketersinggungan”

Ya, semua orang selalu dihadapkan pada “permakluman-permakluman” yang sifatnya selalu semu dan serba ragu-ragu. Tak terkecuali ketika berbicara tentang pertumbuhan teater di kota Semarang, beranikah secara jujur untuk mengatakan hal-hal yang sebenarnya, tanpa harus dilambari keragu-raguan ?

Saya sangat meyakini bahwa pertumbuhan teater tidak bisa dibatasi dalam wilayah geografis semata. Seperti juga Komunitas Panggung sangat meyakini bahwa kebutuhan integritif setiap manusia tak cuma tergantung kemampuan ekonominya, fasilitas yang dimilikinya, serta ukuran-ukuran material lainnya. Kebutuhan setiap manusia bisa dicapai siapa saja dalam kondisi apa pun.

Kominitas Panggung sendiri berdiri pada tgl 6 Maret 2003, jika waktu menjadi tolak ukurnya. komunitas ini merupakan salah satu kelompok termuda di kota Semarang. Spirit organisasinya masih bisa terjaga hingga sekarang. Komunitas yang bermarkas di jalan Purwosari-Perbalan ini pada awalnya terbentuk atas prakarsa sekelompok anak muda pekerja seni di TBRS, yaitu Babahe, Adiet Kaliksana, Daim ASA, Abas Effendi, Eko Ndog, Ayuk, Arief Bendol, dan Alfi. Oleh karena itu mereka yang biasanya beraktifitas dibalik layar mencoba menciptakan media sendiri untuk bermain, berekspresi dan menampung kreatifitasnya. Suatu aktifitas yang positif dan bermanfaat. Berkat kegigihan dan ketekunan usaha, akhirnya membuahkan hasil dan terbentuklah Komunitas Panggung.

Jika berbicara tentang Komunitas Panggung dalam konteks teater di Semarang maupun Jawa Tengah, mungkin tidak setenar kelompok lain. Bagi kami yang penting tetap eksis, spirit organisasinya masih tetap terjaga hingga sekarang di Semarang. Bagi kami bahwa dunia teater tidak akan pernah mati Walaupun kadang kehidupannya redup seperti lampu Teplok.

Nama Komunitas Panggung itu sendiri mengilhami setiap anggotanya. “ bahwa semua anggota mempunyai kegelisahan yang sama dalam kreatifitas, tidak pandang tempat dan waktu, semua punya hak serta kewajiban yang sama “ Masing-masing anggota memegang prinsip “Ojo rumongso dibutuhke” yang artinya jangan terlalu merasa bahwa dirinya paling diharapkan. Nilai filosofis yang terkandung didalamnya bisa disimpulkan bahwa tujuan akan sampai jika dilakukan dengan kebersamaan, rajin dan tekun serta perpegang teguh pada prinsip yang dimiliki.

Sistem keanggotaan yang terbuka dan sukarela membuat setiap orang yang punya minat terhadap seni peran bisa bergabung. Saat ini keanggotaan Komunitas Panggung didominasi oleh anak muda dengan latar belakang status yang beragam, mulai dari pelajar, mahasiswa, pegawai bahkan pengangguran. Sikap kekeluargaan sangat dijunjung tinggi oleh setiap anggota.

Pegiat-pegiat Komunitas Panggung paham benar tentang bagaimana cara membentuk kesan yang positif bagi pecinta seni terhadap karya-karyanya. Di samping pentas teater dari kampung ke kampung, sekolah ke sekolah hingga pentas ke luar kota dengan mengusung lakon yang mudah dicerna oleh setiap lapisan masyarakat.

Menatap sejarah perjalanan Komunitas Panggung memang belum seberapa. Sebagai kelompok teater yang masih muda dan belum berpengalaman, dengan keberagaman status anggotanya. Tetapi hal itu bukan menjadi penghalang besar untuk tetap berkreativitas dan tetap berkarya. Justru keberagaman status dan kurangnya pengalaman menjadi spirit tersendiri untuk tetap berkarnya. Saling mengisi satu sama lain, sehingga semuanya menjadi satu kesatuan yang utuh, jalin-menjalin.

Maka sampai sekarang komunitas panggung tetap mencoba eksis dengan berbagai kekurangan yang ada sebagai komunitas muda. Tetap selalu berkarya adalah doa kami yang panjang. Dan tak ada pengakuan status bagi anggotanya kecuali bagi diri mereka sendiri yang merasa tetap memiliki komunitas pangggung sebagai wadah berkarya dan berkreativitas.

Catatan pembuktian perjalanan pementasan lakon teater yang pernah di garap :

- Thn 2003 “Sakit Itu Mahal” karya Giwing Purba.
- Thn 2004 “Renternir” karya Giwing Purba
- Thn 2005 “Sekolah Unggulan” karya Prie GS.
- Thn 2005 “Balada Orang-Orang Pinggiran” karya Stephanus Darmadi.
- Thn 2006 “Pinangan” karya Anton Chekov.
- Thn 2007 “Pasar Kobar” karya Eko Tunas.
- Thn 2008 “Obrok Owok-Owok Ebrek Ewek-Ewek” karya Danarto.
- Thn 2008 “Laron-Laron” karya Prie GS

Sebagai sebuah organisasi seni, Komunitas Panggung dilengkapi juga dengan AD/ART yang melandasi setiap kegiatan anggotanya. Tidak mengherankan jika sampai sekarang roda kehidupan organisasi Komunitas Panggung tetap berjalan. Komunitas Panggung saat ini diketuai oleh Anto galon, Sekretaris Adinar/Pay, Bendahara Abbas Effendy, S.Pdi, Dept Sastra Pandu, Dept Musik Pa’i, Dept Art. Panggung Namex, Dept Lighting Fajar, Dept Make up dan kostum Dwi, Dept Pendidikan dan Latihan Alfiyanto.

Sampai saat ini Komunitas Panggung masih terus berkarya lewat pementasan-pementasan teaternya. Tetap bersama-sama membangun jalinan kekeluargaan yang saling mengisi satu sama lain, jalin menjalin sehingga status keanggotaan yang beragam bukan menjadi penghalang, justru memupuk kami untuk menjadi sebuah komunitas yang utuh dan tetap berkarya.



CP : Alfianto : 08122546676

Pay : 085640026261

Pandu : 085226426789

6.9.08

Kodrat hidup mati

(http://www.wawasandigital.com)


SESIAPAPUN tak kan
pernah bisa menentukan nasibnya sendiri. Kapan dia harus menerima kenyataan menghadapi kematian, sebagai bentuk kehidupan yang sesungguhnya. Penentu hidup atau mati, adalah kodrat sang Ilahi. Siap atau tidak siap, jika Tuhan sudah menentukan, maka tak bisa ditawar lagi. Demikian seklumit kisah sufi dari naskah Laron-laron, karya Prie GS, yang ditampilkan kelompok teater Komunitas Panggung Semarang, sebagai salah satu agenda pementasan dalam Festival Kesenian Semarang, hasil kerja sama Komunitas Hysteria dan Dewan Kesenian Semarang (Dekase), di ruang B 6 Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Unnes, Selasa (26/8) lalu.

Simak saja dialog seorang tokohnya, yakni Laron Sepuh, yang diperankan Khusnu. Tokoh Laron Sepuh tokoh tertua di antara laron-laron lainnya, dan hidup menyepi bersama pembantunya bernama Salindri (diperankan Dwi Aryanti). ‘’Aku orang yang kuat. Sangat kuat! Mana Mungkin aku bisa dengan tiba-tiba dibuat lemah, sangat lemah. Orang-orang itu pasti sedang dijangkiti halusinasi! Mereka pasti akan kecewa melihat siapa aku sebenarnya,’’ ujar Laron Sepuh kepada Salindri. Ucapan itu kemudian disambut Salindri dengan kalimat, ‘’Saya memang ingin Nyai Sepuh bertahan hidup, kalau memang masih kuat hidup. Tetapi bukan jenis hidup yang ngotot begini.’’ Lalu, Laron Sepuh terengah-engah sambil berkata, ‘’Enak saja menyuruh orang mati. Kematian itu kan hanya menarik bagi orang-orang yang siap mati. Padahal, aku kan lebih memilih siap hidup.’’

Kegundahan untuk lari dari kematian dengan alasan masih banyaknya persoalan yang belum terselesaikan, membuat Laron Sepuh digerogoti penyakit yang menyertai umur tuanya. Hingga pada akhirnya benar-benar mati dengan hanya ditemani pembantunya, Salindri. Sebagai pembantu dengan dedikasi dan kesetiaan tinggi, Salindri kemudian membawa jasad Laron Sepuh mencari apa yang diinginkan sang tuannya.

Hingga akhirnya, setelah sekian lama terbang, Salindri bertemu tokoh bernama Mursyid (diperankan To-ples). Melihat Salindri bingung terbang mencari puncak ketinggian, Mursyid berkata, ‘’Kenapa bingung menentukan rute terbang kalau jumlah arah hanya satu adanya. Laron-laron merayap untuk bersayap. Laron-laron bersayap untuk terbang. Dan tak ada penerbangan terindah selain terbang menuju cahaya. Karena di sanalah sayap-sayap akan rontok dan fana.’’

Terganggu hujan
Namun sayang, lakon karikaturistik karya Prie GS yang lebih banyak menampilkan sisi perjalanan salah satu makhluk hidup menentukan jalan hidupnya sendiri itu, terganggu dengan adanya hujan deras. Vokal para pemain pun hilang diterpa suara air yang jatuh menimpa atap, hingga gemericik suaranya benar-benar mematikan vokal pemain garapan Alfiyanto itu.

Sang sutradara, Alfiyanto, mengakui kelemahan para pemainnya. Dijelaskannya, para aktor yang dipilihnya kebetulan adalah aktor-aktor baru dalam pertunjukan teater di Semarang. ‘’Pengalaman berpentas mereka juga masih di bawah rata-rata pemain. Tapi bagaimana lagi, itulah adanya. Ini PR bagi saya untuk pementasan-pementasan selanjutnya,’’ terangnya kepada Wawasan.

Sejarah naskah Laron-laron sendiri cukup unik. Dengan dilatarbelakangi kondisi pribadinya saat itu, ditambah lagi Prie GS yang aktif dalam kelompok pengajian Suryo Ndadari milik Teater Lingkar, naskah itu kemudian muncul dengan diorama penuh canda dalam bentuk panggung pementasan. Namun sayang, Komunitas Panggung malam itu mementaskannya dengan cukup serius, hingga tak ada dialog-dialog canda dengan nada guyonan menyeringai.

*Tulisan asli bisa dilihat di sini

;;

Template by: Abdul Munir - 99computercity