6.9.08

Kodrat hidup mati

(http://www.wawasandigital.com)


SESIAPAPUN tak kan
pernah bisa menentukan nasibnya sendiri. Kapan dia harus menerima kenyataan menghadapi kematian, sebagai bentuk kehidupan yang sesungguhnya. Penentu hidup atau mati, adalah kodrat sang Ilahi. Siap atau tidak siap, jika Tuhan sudah menentukan, maka tak bisa ditawar lagi. Demikian seklumit kisah sufi dari naskah Laron-laron, karya Prie GS, yang ditampilkan kelompok teater Komunitas Panggung Semarang, sebagai salah satu agenda pementasan dalam Festival Kesenian Semarang, hasil kerja sama Komunitas Hysteria dan Dewan Kesenian Semarang (Dekase), di ruang B 6 Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Unnes, Selasa (26/8) lalu.

Simak saja dialog seorang tokohnya, yakni Laron Sepuh, yang diperankan Khusnu. Tokoh Laron Sepuh tokoh tertua di antara laron-laron lainnya, dan hidup menyepi bersama pembantunya bernama Salindri (diperankan Dwi Aryanti). ‘’Aku orang yang kuat. Sangat kuat! Mana Mungkin aku bisa dengan tiba-tiba dibuat lemah, sangat lemah. Orang-orang itu pasti sedang dijangkiti halusinasi! Mereka pasti akan kecewa melihat siapa aku sebenarnya,’’ ujar Laron Sepuh kepada Salindri. Ucapan itu kemudian disambut Salindri dengan kalimat, ‘’Saya memang ingin Nyai Sepuh bertahan hidup, kalau memang masih kuat hidup. Tetapi bukan jenis hidup yang ngotot begini.’’ Lalu, Laron Sepuh terengah-engah sambil berkata, ‘’Enak saja menyuruh orang mati. Kematian itu kan hanya menarik bagi orang-orang yang siap mati. Padahal, aku kan lebih memilih siap hidup.’’

Kegundahan untuk lari dari kematian dengan alasan masih banyaknya persoalan yang belum terselesaikan, membuat Laron Sepuh digerogoti penyakit yang menyertai umur tuanya. Hingga pada akhirnya benar-benar mati dengan hanya ditemani pembantunya, Salindri. Sebagai pembantu dengan dedikasi dan kesetiaan tinggi, Salindri kemudian membawa jasad Laron Sepuh mencari apa yang diinginkan sang tuannya.

Hingga akhirnya, setelah sekian lama terbang, Salindri bertemu tokoh bernama Mursyid (diperankan To-ples). Melihat Salindri bingung terbang mencari puncak ketinggian, Mursyid berkata, ‘’Kenapa bingung menentukan rute terbang kalau jumlah arah hanya satu adanya. Laron-laron merayap untuk bersayap. Laron-laron bersayap untuk terbang. Dan tak ada penerbangan terindah selain terbang menuju cahaya. Karena di sanalah sayap-sayap akan rontok dan fana.’’

Terganggu hujan
Namun sayang, lakon karikaturistik karya Prie GS yang lebih banyak menampilkan sisi perjalanan salah satu makhluk hidup menentukan jalan hidupnya sendiri itu, terganggu dengan adanya hujan deras. Vokal para pemain pun hilang diterpa suara air yang jatuh menimpa atap, hingga gemericik suaranya benar-benar mematikan vokal pemain garapan Alfiyanto itu.

Sang sutradara, Alfiyanto, mengakui kelemahan para pemainnya. Dijelaskannya, para aktor yang dipilihnya kebetulan adalah aktor-aktor baru dalam pertunjukan teater di Semarang. ‘’Pengalaman berpentas mereka juga masih di bawah rata-rata pemain. Tapi bagaimana lagi, itulah adanya. Ini PR bagi saya untuk pementasan-pementasan selanjutnya,’’ terangnya kepada Wawasan.

Sejarah naskah Laron-laron sendiri cukup unik. Dengan dilatarbelakangi kondisi pribadinya saat itu, ditambah lagi Prie GS yang aktif dalam kelompok pengajian Suryo Ndadari milik Teater Lingkar, naskah itu kemudian muncul dengan diorama penuh canda dalam bentuk panggung pementasan. Namun sayang, Komunitas Panggung malam itu mementaskannya dengan cukup serius, hingga tak ada dialog-dialog canda dengan nada guyonan menyeringai.

*Tulisan asli bisa dilihat di sini


Template by: Abdul Munir - 99computercity