1.9.08

BERKACA DALAM LARON-LARON

*Catatan Agung Hima

Naskah : Laron-laron
Performer : Komunitas Panggung Semarang (KOMPAS)
Sutradara : Alfiyanto
Pemain : Pandhu, Avana, Kusnu dll
Tempat : Unnes Sekaran, Gunung Pati – 20 agustus 2008


Komunitas Panggung Semarang memang belum cukup usia untuk melanglang buana, tapi dalam setiap geraknya ia begitu mewakili ketekunan untuk selalu mempersembahkan yang terbaik, menyuguhkan sebuah pertunjukan yang enak di tonton dan begitu sarat banyolan yang tidak “ndeso”. Lewat naskah Laron-laron milik Prie GS, Alfiyanto; sang sutradara; semakin mengukuhkan bentuk penggarapannya yang memliki cirinya sendiri. Meski tak jauh banget dari komunitas induk semangnya Teater Lingkar, namun pengolahan bentuk penggarapannya memang berbeda.

Laron-laron adalah naskah yang bicara tentang kegamangan dari sebuah pencarian kebenaran. Dengan seting sebuah perguruan/pesantren/sekolah yang notabene mempunyai pola dasar sendiko dawuh dari mursyidnya yang begitu didewakan, maka murid-murid yang sedang ngangsu kawruh tertoreh oleh kebingungan dalam menatap masa depannya. Sindiran cerdas dari Prie GS terasa selalu bernas untuk menggambarkan kekinian. Dalam wacana politik Indonesia mutakhir, patron paternalistik memang masih kentara dan laron-laron membidiknya dengan guliran model sampagan yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Wacana kebenaran memang selalu menjadi santapan yang empuk dalam reportoar pertunjukan.

Padahal, kan tidak ada mursyid yang tidak mengajarkan kebenaran. Padahal kebenaran itu kan satu. Lha kok setelah sampai bawah jadi bermacam-macam, ini piye, kok mbingungi?
Masak kebenaran saja di korupsi! Kebenaran itu kan bukan proyek, duhai mursyid!

Begitulah dialog kegamangan murid-muridnya yang berkelindan dengan kebenaran, kebenaran yang seharusnya tunggal, malah menjadi sebuah dasamuka yang menakutkan untuk dianut dan dilaksanakan. Kebenaran tunggal yang seharusnya suci telah dikorupsi, dikloning dan diadaptasi oleh beribu pikiran dari kepala murid-murid yang memang masih kebingungan mencari jati dirinya masing-masing. Dan kekacauan adalah keniscayaan yang didapati manakala tidak ada penjelasan yang memang dari mursyid yang tahu kebenaran.

Ini serupa mengeja ayat-ayat dalam kitab suci yang penuh dengan mutasyabihat kemudian ditafsirkan secara serampangan oleh ahli-ahli tafsir yang bertujuan untuk menjalankan kebenaran. Dan mursyid sebagai waliyullah telah dianggap sebagai kebenaran itu sendiri mengalahkan nabi-nabi yang memang telah diberi tugas oleh sang khalik sendiri. Tak ada kata lain selain sabda pandhita ratu bagi seorang murid, serupa bagaimana masyarakat kita sekarang ini yang begitu taklid dengan apa kata kyai, pendeta dan romo-nya masing-masing. Sebuah pemikiran yang dipenjara oleh tradisi buruk untuk mewujudkan kemapanan dan kebenaran asas tunggal jaman dahulu kala.

Hal inilah yang disoroti Prie gs sebagai pembuat naskah, dengan dialog-dialog yang segar dan sindiran tajam untuk para mursyid. Menjadi mursyid (pemimpin/ulama) bukanlah perkara mudah, dalam keimanan islam barangkali boleh berucap alhamdullilah tapi dibalik semua itu dalam kesadaran tinggi ucapan itu seharusnya diganti dengan innalillahi wa inna ilaihi rojiun, sebuah musibah dan ujian yang maha dahsyat akan segera terjadi manakala manusia ditunjuk sebagai pemimpin. Sebuah jabatan yang sangat akrab dengan kejumawaan, melenceng sedikit saja, tahu-tahu sudah menjadi tuhan!

Dan Komunitas Panggung telah menyuguhkannya dengan alunan irama changcuters, berteriak I love u bibeh, enteng tapi sebenarnya mempunyai makna yang dalam. Namun sebagaimana pilihan mazhab yang sejenis dengan sampagan, kedalaman sebuah naskah tersebut memang tidak akan mempunyai daya tonjok yang begitu kuat. Komunitas Panggung hanya menyentil telinga para penonton yang memang bebal itu dengan dialog-dialog konteplatif yang tertimbun oleh kelucuan-kelucuan para aktornya.

Manusia dan dosa-dosanya adalah manusia dan pakaiannya, manusia dan keliru adalah manusia dengan perhiasaanya. Manusia tidak perlu gengsi mati dengan dosa menggayut di punggungnya. Karena bagaimana gusti allah membuktikan sifat rahman dan rahiimnya, kalau manusia yang marak sowan kepadanya tanpa tumpukan dosa. Manusia semacam itu justru manusia yang angkuh karena mengingkari kodratnya sebagai manusia.

Sebuah dialog yang asyik bukan? Sebuah dialog yang butuh perenungan hening. Dan tawaran Kompas, begitu mengena meski tak sepenuh sempurna. Tabik.


*Tulisan asli bisa dilihat di sini


Template by: Abdul Munir - 99computercity